Sebuah Kisah Dosa Termanis

Semua dimulai lagi, ketika hasrat menemukan jalannya. Hati yang terkoyak dan jiwa yang kosong membawaku ke dalam dunia yang semakin tak jelas dan kabur. Mungkin inilah takdir yang digariskan sebagai ujian untuk menjadikan otak berpikir dan jiwa ini memiliki rasa.

Kisah ini berawal ketika sebuah media sosial menjadi jembatan penghubung antar manusia yang tak mengikat jarak dan waktu. Dari sanalah semua berawal ketika ku mulai terhubung dengan seseorang dari dunia maya melalui aplikasi pertemanan.

Pada awalnya, aku tak percaya dan tak menyangka kalau aku akan mengunduh aplikasi kencan dan pertemanan. Ya, mungkin ini karena dorongan rasa sepi yang menghantui dan membuat jiwa ini terasa kosong.

Aku pun akhirnya mendaftarkan diri pada aplikasi tersebut, dan mulailah aku menggunakan fitur "People Nearby" yang ada di aplikasi.

Di situlah aku mulai mencari, memilih yang sekiranya sesuai dengan yang ada di pikiranku. Lalu terpilihlah, sebut saja "Bunga Mawar".

Aku mulai mengirimkan permintaan pertemanan dengan kalimat sapaan. Dan di situlah aku merasa bahagia ketika dia merespon sapaanku.

Semula semuanya biasa-biasa saja, ketika kata demi kata mulai terjalin dan mulai membuat simpul di antara kami. Lambat laun, jiwa kami yang sama-sama menemukan jalannya karena sebuah guratan kisah masa lalu yang pahit membuat kami berada saling berhadapan satu sama lain.

"Ini nyata dan kami tak berhayal. Mungkin inilah jalannya."

Sebuah pesan singkat di telepon genggam membuat diri ini terhenyak, sebuah pertanyaan terlontar, dan dia bertanya.. kapan sekiranya aku akan mampir ke kediamannya. Ini sungguh gila, jiwa ini seperti menerima sebuah tantangan akan keberanianku. Aku pun tak banyak berpikir dan pada akhirnya ku menyambangi kediaman tempat dia tinggal.

Di tengah perjalanan aku pun terhenti dikarenakan kendaraan yang kukendarai mengalami pecah ban dan di situlah dia mulai menunjukkan perhatian, dengan menawarkan bantuannya untuk menjemputku. Tanpa disadari, jiwa ini serasa melayang entah ke mana. Aku pun tersipu dan hanya bisa menunggu sampai kendaraanku selesai diperbaiki.

Waktu pun terus berjalan, dan akhirnya kulanjutkan untuk melaju ke tempat di mana seseorang sudah menungguku dan ternyata benar adanya, dia sudah menungguku di sebuah minimarket dekat jalan masuk ke kediamannya. Jantung ini pun semakin berdetak dan hanya senyuman lebar yang bisa kami berikan satu sama lain.

Kami pun akhirnya tiba di sebuah rumah di ujung gang, kami mengobrol, mencurahkan isi hati dan diselingi dengan menonton acara di televisi. Tanpa terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan aku mulai gelisah, karena aku tak ingin pulang secepatnya... mungkin itu pula yang dia tangkap dari gerak gerikku. Sampai pada akhirnya saat aku akan beranjak, dia hanya mampu menggenggam tanganku seolah tak ingin aku pergi.

Dan entah apa yang aku pikirkan, aku berdiri dan mengunci pintu kamar kos. Lalu kami berbaring dan saling memandang. Dia pun hanya bisa terlungkup seperti anak kecil, dan aku pun seperti bajingan yang memperoleh mangsa. Aku pun spontan memeluk dia.

Aku pun tak tahu lagi, apakah saat itu aku benar-benar menjadi diriku atau setan sudah menguasai diriku. Aku pun tak berpikir lagi tentang norma dan agama, semuanya hanyalah nafsu. Berawal dari saling mencium mesra kemudian saling meraba dan kami pun menikmati itu.

Aku tahu seharusnya aku tak memulainya... karena aku hanya akan merusak masa depan dia. Namun semuanya berlangsung begitu saja dan dia pun bukan gadis yang suci lagi. Dia pun menikmati apa yang kami lakukan bersama, itulah alasan kenapa aku semakin menggeliat dan kami pun melakukan semuanya dengan kenikmatan tersendiri.

Namun, di tengah kebersamaan itu, tiba-tiba ponsel gadis itu berdering. Aku bisa melihat ekspresinya berubah. Wajahnya tegang saat ia melihat layar ponselnya. Dia ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya mengangkat telepon itu.

Aku hanya bisa mendengar samar-samar suara di seberang. Tapi yang jelas, itu suara orang tuanya. Nada bicara mereka terdengar mendesak dan penuh tekanan. Aku mulai memahami bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Setelah percakapan itu berakhir, dia menundukkan kepala. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku pun bertanya, apa yang terjadi?

Dengan suara bergetar, dia berkata, "Aku... akan menikah. Orang tuaku menjodohkanku. Aku tak punya pilihan."

Dunia seakan runtuh di hadapanku. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Rasa bersalah, kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Aku tahu ini bukan salahku sepenuhnya, tapi tetap saja, aku merasa telah menyeretnya ke dalam sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

Aku ingin berkata sesuatu, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Gadis itu hanya menatapku dengan tatapan kosong, seolah meminta maaf tanpa perlu mengucapkannya. Namun, ada satu hal yang lebih menyakitkan.

Dengan suara yang hampir tak terdengar, dia berkata, "Pria itu... pria yang dijodohkan denganku... dia adalah orang yang telah menodai aku dulu. Orang yang membuatku kehilangan harga diriku, yang menghancurkan semua harapanku. Dan sekarang, aku dipaksa untuk menikah dengannya."

Aku terperangah. Dadaku sesak. Aku ingin marah, ingin berteriak, ingin melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Dia hanya duduk di sana, memeluk lututnya, berusaha menahan air mata yang akhirnya jatuh begitu saja.

Dan di sanalah aku tahu, semua ini bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang ketidakadilan yang tak bisa dihindari. Kisah ini, akhirnya harus berakhir dengan luka yang lebih dalam daripada yang pernah kubayangkan.



Malam itu berubah menjadi senyap. Aku hanya duduk di sampingnya, melihatnya menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku ingin memeluknya, ingin menenangkannya, tapi aku tak yakin apakah itu bisa menghapus luka yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.

"Kamu tidak harus menikah dengannya," kataku akhirnya, mencoba memberikan harapan.

Dia menggeleng pelan. "Aku tidak punya pilihan. Orang tuaku mengancam akan mengusirku jika aku menolak. Mereka tidak peduli dengan masa laluku. Yang mereka pedulikan hanya nama baik keluarga."

Aku mengepalkan tangan. Bagaimana bisa mereka begitu tega? Aku ingin membantunya, ingin memberinya jalan keluar, tapi aku tahu, situasinya lebih rumit dari yang terlihat.

"Lari bersamaku," kataku spontan.

Dia menatapku dengan mata penuh air mata, ragu-ragu. "Aku... aku tidak bisa. Aku takut."

Aku tahu, ini bukan keputusan yang bisa diambil dalam semalam. Tapi aku tidak akan membiarkannya menghadapi ini sendirian.

Dia pun bergegas untuk pergi dan tidak ingin membuatku terlibat dalam masalahnya dan aku masih terdiam tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya.

Posting Komentar untuk "Sebuah Kisah Dosa Termanis"